Rabu, 18 Februari 2009

Kebangkitan dan Kemudaan


Kebangkitan dan kemudaan merupakan dua sisi mata uang yang sama. Setiap kebangkitan memuat semangat kemudaan, sementara setiap kemudaan memuat tenaga potensial bagi kebangkitan. Bagi bangsa ini, kaitan itu tidak lagi teori, tetapi fakta sejarah. Adalah orang muda yang menjadi ujung tombak kebangkitan nasional seratus tahun yang lampau. Orang-muda juga yang menancapkan roh bagi apa yang disebut Indonesia kini.

Tetapi, orang muda tidak tampil begitu saja. Di belakang kemudaan yang heroik seratus tahun yang lampau, terdapat peran-peran kedewasaan yang ikhlas, terdapat peran para orang tua yang berjiwa besar. Apabila keterpurukan kini tidak juga melahirkan kebangkitan kembali, maka tidak hanya kepada orang muda saja cercaan secara terutama harus dialamatkan, tetapi juga kepada orang-orang tua yang telah kehilangan kedewasaan dan jiwa besarnya.

Satu peran yang begitu penting dalam sejarah kebangkitan nasional seratus tahun yang lampau tetapi menghilang dalam peredaran dewasa ini adalah peran-peran ‘penganjur’. Seorang penganjur adalah sebuah kombinasi peran-peran aktivis dan begawan sosial. Ia tidak saja seorang kritisi sosial yang otentisitas keberpihakan dan dedikasinya mendatangkan respek tetapi juga seorang ideolog sosial dengan kemumpunian analisis dan kepemimpinan gagasan yang memancarkan daya tarik.

Arti penting peran penganjur di balik kebangkitan nasional orang muda di Jawa seratus tahun yang lalu secara tepat terlihat dalam peran-peran dr. Wahidin Sudirohusodo. Adalah peran dr. Wahidin dalam menginspirasi siswa-siswa STOVIA yang berada di balik pembentukan Boedi Oetomo. Andaikata akhir tahun 1907 dr. Wahidin tidak mampir ke STOVIA dan menginspirasi Soetomo, Soeradji dan siswa-siswa STOVIA yang lain, Boedi Oetomo tidak akan pernah lahir. Jika Boedi Oetomo tidak pernah lahir, tidak ada peringatan seratus tahun kebangkitan nasional hari ini.

Soetomo, Soeradji dan siswa STOVIA yang lain belum genap dua puluh tahun saat berjumpa dr. Wahidin, sementara dr. Wahidin telah melewati usia setengah abad saat bertemu mereka. Soetomo beserta siswa STOVIA yang lain mewakili generasi muda yang gelisah, energi yang menunggu disalurkan, sementara dr. Wahidin merepresentasi generasi tua yang inspiratif, ikhlas dan waskita.

Sebagaimana dicatat Akira Nagazumi, penulis paling otoritatif soal Boedi Oetomo sejauh ini, “semangat dr. Wahidin yang tidak mementingkan diri sendiri lah yang menimbulkan kesan mendalam Soetomo dan pendiri lain Boedi Oetomo”. Sebelum perjumpaan dengan mahasiswa STOVIA, dr. Wahidin dikenal luas sebagai penganjur disegani dengan rencana besar pembentukan suatu lembaga dana beasiswa pribumi. Perjumpaan di STOVIA itu pun dalam rangka perjalanan kampanye beasiswa ini.

Meskipun sejarah kemudian mencatat --oleh sebab kurangnya dukungan para priyayi-- kegagalan dr. Wahidin dalam pembentukan lembaga dana beasiswa pribumi, sejarah akhirnya juga mencatat keberhasilan kampanye dr. Wahidin dalam bentuk lain yakni bangkitnya kesadaran sekelompok elit muda bumiputra untuk berkumpul, berserikat dan berorganisasi demi sebuah ‘upaya luhur’, sebuah ‘kehendak mulia’, sebuah ‘boedi oetomo’.

Yang menarik, meski berperan sentral dalam membangkitkan kesadaran di tengah keterpurukan, peran ‘penganjur’ tidak menjadi mode keterlibatan populer generasi tua dalam hubungannya dengan orang-orang muda kini. Alih-alih, mundur untuk memberi jalan bagi majunya generasi baru yang lebih segar, generasi tua justru sibuk menggalang dukungan generasi muda untuk kemajuan kembali dirinya. Alih-alih, mempersiapkan regenenerasi yang membuahkan hasil, generasi tua lebih gemar menyoroti ketidaksiapan generasi muda dalam menggantikannya. Bukankah dalam tiap-tiap ketidaksiapan generasi muda selalu ada dosa generasi tua?

Padahal, dalam konsepsi ideal peran penganjur, yang dibutuhkan lebih dari sekedar kesediaan untuk mundur. Seorang penganjur bukan seorang yang mundur dari sebuah perjuangan, tetapi bukan juga seorang yang maju sendiri atau mengambil keuntungan dari ketidaksiapan generasi muda untuk tampil ke depan. Seorang penganjur adalah seorang dengan keterlibatan yang organik, yang sepanjang hayat mendedikasikan diri pada segenap upaya agar orang-orang muda terbaik tampil memimpin berikutnya.

Dalam kaitan itu, yang terjadi sekarang sungguh ironis. Terdapat keterpurukan yang membutuhkan kebangkitan kesadaran orang muda yang lebih besar atau kurang lebih setara dengan kebangkitan orang muda seratus tahun yang lampau, tetapi tidak terdapat cukup penganjur yang inspiratif bagi kebangkitan kembali. Jika seabad lampau, liberalisasi era kolonial melahirkan penganjur kebangsaan sekelas dr. Wahidin, liberalisasi era globalisasi tidak kunjung menghadirkan penganjur kebangsaan serupa. Adalah benar terdapat begitu banyak pembicara, tetapi tidak banyak di antaranya penganjur yang sesungguhnya.

Sebagai mode keterlibatan generasi tua yang pernah begitu berperan dalam membangkitkan kesadaran orang-orang muda seratus tahun lampau, peran-peran penganjur kini semakin sulit dijumpai. Sebaliknya, peran-peran penasehat atau bahkan provokator lebih deras mengisi perbendaharaan wacana bangsa sehari-hari. Survei singkat penulis melalui penelusur kata Google mendapati bahwa dalam perbendaharaan kata sekalipun, kecenderungan serupa dengan mudah dijumpai. Penelusuran Google terhadap kata penganjur hanya menghasilkan 165.000 hit, jauh lebih sedikit jika dibanding kata ‘penasehat’ yang menghasilkan 342.000 hit atau kata ‘provokator’ yang menghasilkan 350.000.000 hit.

Maraknya perbendaharaan kata provokator dan penasehat serta menghilangnya istilah penganjur adalah gejala nyata hubungan tua-muda yang sakit. Jika dalam populernya kata penasehat menyiratkan dominasi cara pikir yang membonsai orang muda dalam posisi yang secara fikiran dipandang kurang ‘sehat’, secara organisasikurang berpengalaman, dan secara wibawa kurang otoritatif; dalam inflasi kata provokator tersirat gejala yang lebih parah, bahwa banyak anjuran, dorongan dan nasehat kini lebih banyak datang dari sumber yang tidak bertanggung jawab.

Dalam latar belakang seperti itu, mengharap kemudaan kembali memantik pelatuk api kebangkitan hanya akan berujung kekecewaan. Kemudaan yang membangkitkan kesadaran memang panggilan zaman. Tetapi kemudaan yang terpanggil tantangan zaman tidak akan muncul tanpa langkah panjang penyadaran. Sementara penyadaran adalah buah karya generasi yang terdahulu, maka demikian pula halnya dengan kejumudan generasi berikut.

Maka apabila seratus kebangkitan hanya berhenti sebatas peringatan, sebatas seremoni, dan pada ujungnya gagal menghadirkan semangat kebangkitan bangsa kembali, tentu ada yang salah dalam alam pikir generasi muda kini. Dan, bila sesat pikir generasi muda benar tengah terjadi, dalam kegagalan peran-peran penganjur generasi tua lah sesungguhnya evaluasi terbesar seharusnya dimulai.


Joko Susanto. Ketua Dewan Pemangku Kuliah Tjokroaminoto untuk Kebangsaan dan Demokrasi.


For Quotation, this article appeared firstly at:

Harian Surya, 19 Mei 2008, Edisi Penulis Muda untuk 100 tahun Kebangkitan Nasional