Rabu, 18 Februari 2009

Kebangkitan dan Kemudaan


Kebangkitan dan kemudaan merupakan dua sisi mata uang yang sama. Setiap kebangkitan memuat semangat kemudaan, sementara setiap kemudaan memuat tenaga potensial bagi kebangkitan. Bagi bangsa ini, kaitan itu tidak lagi teori, tetapi fakta sejarah. Adalah orang muda yang menjadi ujung tombak kebangkitan nasional seratus tahun yang lampau. Orang-muda juga yang menancapkan roh bagi apa yang disebut Indonesia kini.

Tetapi, orang muda tidak tampil begitu saja. Di belakang kemudaan yang heroik seratus tahun yang lampau, terdapat peran-peran kedewasaan yang ikhlas, terdapat peran para orang tua yang berjiwa besar. Apabila keterpurukan kini tidak juga melahirkan kebangkitan kembali, maka tidak hanya kepada orang muda saja cercaan secara terutama harus dialamatkan, tetapi juga kepada orang-orang tua yang telah kehilangan kedewasaan dan jiwa besarnya.

Satu peran yang begitu penting dalam sejarah kebangkitan nasional seratus tahun yang lampau tetapi menghilang dalam peredaran dewasa ini adalah peran-peran ‘penganjur’. Seorang penganjur adalah sebuah kombinasi peran-peran aktivis dan begawan sosial. Ia tidak saja seorang kritisi sosial yang otentisitas keberpihakan dan dedikasinya mendatangkan respek tetapi juga seorang ideolog sosial dengan kemumpunian analisis dan kepemimpinan gagasan yang memancarkan daya tarik.

Arti penting peran penganjur di balik kebangkitan nasional orang muda di Jawa seratus tahun yang lalu secara tepat terlihat dalam peran-peran dr. Wahidin Sudirohusodo. Adalah peran dr. Wahidin dalam menginspirasi siswa-siswa STOVIA yang berada di balik pembentukan Boedi Oetomo. Andaikata akhir tahun 1907 dr. Wahidin tidak mampir ke STOVIA dan menginspirasi Soetomo, Soeradji dan siswa-siswa STOVIA yang lain, Boedi Oetomo tidak akan pernah lahir. Jika Boedi Oetomo tidak pernah lahir, tidak ada peringatan seratus tahun kebangkitan nasional hari ini.

Soetomo, Soeradji dan siswa STOVIA yang lain belum genap dua puluh tahun saat berjumpa dr. Wahidin, sementara dr. Wahidin telah melewati usia setengah abad saat bertemu mereka. Soetomo beserta siswa STOVIA yang lain mewakili generasi muda yang gelisah, energi yang menunggu disalurkan, sementara dr. Wahidin merepresentasi generasi tua yang inspiratif, ikhlas dan waskita.

Sebagaimana dicatat Akira Nagazumi, penulis paling otoritatif soal Boedi Oetomo sejauh ini, “semangat dr. Wahidin yang tidak mementingkan diri sendiri lah yang menimbulkan kesan mendalam Soetomo dan pendiri lain Boedi Oetomo”. Sebelum perjumpaan dengan mahasiswa STOVIA, dr. Wahidin dikenal luas sebagai penganjur disegani dengan rencana besar pembentukan suatu lembaga dana beasiswa pribumi. Perjumpaan di STOVIA itu pun dalam rangka perjalanan kampanye beasiswa ini.

Meskipun sejarah kemudian mencatat --oleh sebab kurangnya dukungan para priyayi-- kegagalan dr. Wahidin dalam pembentukan lembaga dana beasiswa pribumi, sejarah akhirnya juga mencatat keberhasilan kampanye dr. Wahidin dalam bentuk lain yakni bangkitnya kesadaran sekelompok elit muda bumiputra untuk berkumpul, berserikat dan berorganisasi demi sebuah ‘upaya luhur’, sebuah ‘kehendak mulia’, sebuah ‘boedi oetomo’.

Yang menarik, meski berperan sentral dalam membangkitkan kesadaran di tengah keterpurukan, peran ‘penganjur’ tidak menjadi mode keterlibatan populer generasi tua dalam hubungannya dengan orang-orang muda kini. Alih-alih, mundur untuk memberi jalan bagi majunya generasi baru yang lebih segar, generasi tua justru sibuk menggalang dukungan generasi muda untuk kemajuan kembali dirinya. Alih-alih, mempersiapkan regenenerasi yang membuahkan hasil, generasi tua lebih gemar menyoroti ketidaksiapan generasi muda dalam menggantikannya. Bukankah dalam tiap-tiap ketidaksiapan generasi muda selalu ada dosa generasi tua?

Padahal, dalam konsepsi ideal peran penganjur, yang dibutuhkan lebih dari sekedar kesediaan untuk mundur. Seorang penganjur bukan seorang yang mundur dari sebuah perjuangan, tetapi bukan juga seorang yang maju sendiri atau mengambil keuntungan dari ketidaksiapan generasi muda untuk tampil ke depan. Seorang penganjur adalah seorang dengan keterlibatan yang organik, yang sepanjang hayat mendedikasikan diri pada segenap upaya agar orang-orang muda terbaik tampil memimpin berikutnya.

Dalam kaitan itu, yang terjadi sekarang sungguh ironis. Terdapat keterpurukan yang membutuhkan kebangkitan kesadaran orang muda yang lebih besar atau kurang lebih setara dengan kebangkitan orang muda seratus tahun yang lampau, tetapi tidak terdapat cukup penganjur yang inspiratif bagi kebangkitan kembali. Jika seabad lampau, liberalisasi era kolonial melahirkan penganjur kebangsaan sekelas dr. Wahidin, liberalisasi era globalisasi tidak kunjung menghadirkan penganjur kebangsaan serupa. Adalah benar terdapat begitu banyak pembicara, tetapi tidak banyak di antaranya penganjur yang sesungguhnya.

Sebagai mode keterlibatan generasi tua yang pernah begitu berperan dalam membangkitkan kesadaran orang-orang muda seratus tahun lampau, peran-peran penganjur kini semakin sulit dijumpai. Sebaliknya, peran-peran penasehat atau bahkan provokator lebih deras mengisi perbendaharaan wacana bangsa sehari-hari. Survei singkat penulis melalui penelusur kata Google mendapati bahwa dalam perbendaharaan kata sekalipun, kecenderungan serupa dengan mudah dijumpai. Penelusuran Google terhadap kata penganjur hanya menghasilkan 165.000 hit, jauh lebih sedikit jika dibanding kata ‘penasehat’ yang menghasilkan 342.000 hit atau kata ‘provokator’ yang menghasilkan 350.000.000 hit.

Maraknya perbendaharaan kata provokator dan penasehat serta menghilangnya istilah penganjur adalah gejala nyata hubungan tua-muda yang sakit. Jika dalam populernya kata penasehat menyiratkan dominasi cara pikir yang membonsai orang muda dalam posisi yang secara fikiran dipandang kurang ‘sehat’, secara organisasikurang berpengalaman, dan secara wibawa kurang otoritatif; dalam inflasi kata provokator tersirat gejala yang lebih parah, bahwa banyak anjuran, dorongan dan nasehat kini lebih banyak datang dari sumber yang tidak bertanggung jawab.

Dalam latar belakang seperti itu, mengharap kemudaan kembali memantik pelatuk api kebangkitan hanya akan berujung kekecewaan. Kemudaan yang membangkitkan kesadaran memang panggilan zaman. Tetapi kemudaan yang terpanggil tantangan zaman tidak akan muncul tanpa langkah panjang penyadaran. Sementara penyadaran adalah buah karya generasi yang terdahulu, maka demikian pula halnya dengan kejumudan generasi berikut.

Maka apabila seratus kebangkitan hanya berhenti sebatas peringatan, sebatas seremoni, dan pada ujungnya gagal menghadirkan semangat kebangkitan bangsa kembali, tentu ada yang salah dalam alam pikir generasi muda kini. Dan, bila sesat pikir generasi muda benar tengah terjadi, dalam kegagalan peran-peran penganjur generasi tua lah sesungguhnya evaluasi terbesar seharusnya dimulai.


Joko Susanto. Ketua Dewan Pemangku Kuliah Tjokroaminoto untuk Kebangsaan dan Demokrasi.


For Quotation, this article appeared firstly at:

Harian Surya, 19 Mei 2008, Edisi Penulis Muda untuk 100 tahun Kebangkitan Nasional

Kamis, 12 Februari 2009

Globalisasi, Pemuda dan Kesinambungan Budaya


Ada pertanyaan yang kelihatannya remeh, tetapi tidak pernah terjawab secara memadai: bahwa di tengah gelombang pasang globalisasi, di mana seyogyanya peran pemuda dalam berbagai upaya pelestarian warisan budaya? Pertanyaan ini terlihat remeh, oleh sebab terlanjur menjadi tipikal pertanyaan kontes muda-mudi yang menguji kecerdasan secara setengah hati. Anda tidak perlu menjadi kampiun seminar ilmiah yang berat-berat untuk sekadar mendapati pertanyaan ini. Akan tetapi, seperti umumnya nasib pertanyaan ‘remeh’, tidak pernah didapati jawaban yang benar-benar memadai. Jawaban atas pertanyaan yang cenderung dianggap ‘remeh’ acapkali tidak lebih berarti daripada arti penting pertanyaan itu sendiri. Ini tragis, mengingat secara konteks dan substansi, ada kebutuhan yang mendesak untuk menjawab secara memadai pertanyaan ini.

Adalah tujuan tulisan ini untuk secara singkat mendudukkan kembali arti penting persoalan di atas; sambil secara sekaligus mencoba mengetengahkan jawaban yang lebih sesuai dengan problematika mendasarnya dewasa ini. Oleh karena itu, selain menggarisbawahi arti penting persoalan dalam kaitan pergeseran-pergeseran mendasar belakangan ini, tulisan ini secara khusus mengemukakan bahwa reposisi mendasar peran kepemudaan perlu dilakukan terkait tantangan-tantangan umum globalisasi dan kesinambungan budaya. Menjadi penting dalam kaitan ini ialah transformasi peran peziarah kultural kaum muda dalam peran-peran progresif renaissance budaya kolektif bangsa. Yang menarik, sejauh soal ini, kaum muda Indonesia sebenarnya bukannya tanpa histori. Sebaliknya, secara impresif bahkan telah menjadi salah satu ciri paling mengesankan dari pergerakan kemerdekaannya di masa lampau. Oleh karenanya, menyerukan transformasi progresifnya kembali dewasa ini selain kontekstual seharusnya juga menyejarah. Untuk tujuan ini, secara berturut-turut dibahas; sentralitas konsepsi manusia situasi dalam gagasan kesinambungan budaya; pengaruh atomisasi globalisasi bagi kemungkinan-kemungkinan krisis manusia situasi, serta peran yang krusial diupayakan pemuda sebagai peziarah budaya.

Kesinambungan Budaya dan Konsepsi Manusia Situasi

Kesinambungan budaya atau cultural sustainability mungkin bukan konsep yang populer seperti konsep pelestarian budaya atau cultural preservation. Akan tetapi, baik gagasan kesinambungan budaya maupun pelestarian budaya, sebenarnya memiliki posisi dasar tidak jauh berbeda. Keduanya berbagi kesamaan dalam melihat manusia sebagai mahkluk kontekstual, produk dari pergulatan situasi. Kalaupun akhirnya konsep kesinambungan budaya yang lebih banyak dipakai dalam tulisan ini, itu disebabkan keyakinan bahwa penggunaannya menyediakan lebih banyak keleluasaan tidak saja dalam menggarisbawahi posisi situasional manusia dalam aneka keterhubungan kultural tetapi juga karakter dinamis dus dialogis posisi situasional itu dalam keterhubungan kultural lintas generasi.

Sentral dalam tiap-tiap gagasan kesinambungan budaya adalah konsepsi manusia situasi atau situated-man. Secara harfiah ini adalah konsepsi yang memposisikan manusia sebagai produk pergulatan situasi. Tetapi secara konsepsional, pengertian sebenarnya lebih kompleks dari itu. Dalam konsepsi manusia situasi, individu bukan partikel sosial yang melayang bebas, melainkan tertambat dalam jalinan rumit situasi. Oleh sebab tiap-tiap situasi merupakan kerangka pengalaman dan referensi yang unik, sebagai manusia situasi, tiap-tiap individu dihadapkan pada keterbatasan dan keleluasaan yang khas.

Dalam relasi-relasi yang berlangsung cateris paribus, kekhasan situasional tentu bukan merupakan masalah. Persoalannya, relasi sosial tidak pernah berlangsung cateris paribus, tidak pernah juga tumbuh dalam ruang hampa perubahan. Sebaliknya, relasi sosial kerapkali hadir sebagai persinggungan dan pertukaran dinamis pelbagai dialektika situasi-agensi. Dalam kekekalan rumusan dasar seperti, problem kesinambungan antar situasi akhirnya menjadi persoalan sosial yang krusial.

Oleh karena konsepsi manusia situasi muncul dalam kaitan realitas sosial yang hidup dan dinamis, maka menjadi sebuah kesalahpahaman besar jika menganggap konsepsi manusia situasi sebagai konsepsi tentang keterhubungan sosial yang statis, pasif dan linear. Meski memihak pada arti penting elemen-elemen struktural dalam mendefinisikan dan memberi makna tiap-tiap kondisi, konsepsi manusia situasi secara substansial mengakui ruang-ruang tiap individu untuk belajar, melakukan interpretasi ulang atas situasi-situasi sosial yang melingkungi, sembari pada saat yang hampir bersamaan mentransformasi diri menjadi struktur baru bagi pemaknaan-pemaknaan ulang yang lebih berikut.

Kesinambungan budaya selaku konsep merupakan buah karya modernitas yang secara mendasar menggarisbawahi arti penting gagasan manusia situasi ini. Meski secara praksis merupakan gagasan yang senantiasa hidup sepanjang sejarah, baik pelestarian maupun kesinambungan budaya secara historis-konsepsional merupakan produk modernitas. Secara umum ia bagian dari upaya besar Barat membangun jembatan kultural yang mempertautkan modernitas dengan tradisi dus kearifan masa lampau. Berbeda dengan upaya primitif proyek penjembatanan serupa sebelumnya, upaya-upaya ini sejak semula tidak pernah didesain sebagai proyek copycat yang linear dan statik, melainkan sebuah proyek renaissance yang hidup, dinamis dan multi-interpretatif.

Kecenderungan perujukan masa lampau secara hidup, dinamis dan interpretatif ini tidak hanya dijumpai dalam estetika agung karya-karya Leonardo da Vinci, melainkan lebih jauh lagi dijamaki dalam suasana kebatinan umum pergulatan akbar pasca Revolusi Perancis yang secara fundamental meletakkan dasar-dasar bagi standar etika masyarakat modern sejauh ini. Banyak orang mungkin berhenti pada Edmund Burke, yang ajaran-ajaran konservatisme-nya mengilhami pendefinisian ulang modernitas dalam hubungannya dengan tradisi. Akan tetapi, jangkauan pengaruh proyek renaissance etis ini sesungguhnya lebih luas dari itu. Tidak hanya konservatisme, nasionalisme dan liberalisme secara sekaligus sesungguhnya memuat semangat renaissance serupa.

Kaitan nasionalisme dengan gagasan manusia situasi dan kesinambungan budaya sudah bukan rahasia lagi. Dalam versinya yang orthodok, nasionalisme bahkan mengambil pola kejayaan masa lampau dan rekonstruksi situasi sebagai gramatika dan aksentuasi utama. Nasionalisme Jerman di era Third Reich, misalnya, dirumuskan dalam suatu kesinam-bungan yang hidup dengan kejayaan Prusia yang mendahuluinya. Begitu juga dengan Republik Kelima Perancis atau yang sejenisnya. Tetapi kaitan yang seperti ini tidak terlalu mengesankan. Yang lebih kontekstual di sini ialah menggarisbawahi kembali fakta bahwa nasionalisme sebagai pemikiran etis pada dasarnya merupakan gagasan progresif –bukan orthodox- yang menemukan posisi kuatnya dalam arti penting kesinambungan budaya dan konsepsi manusia situasi.

Adalah Herder (1744-1803) bukan Dante atau Mazzini, yang meletakkan dasar bagi progresifitas ini. Dalam konsepsinya tentang nationalismus, Herder --yang juga merupakan kampiun historisisme dan romantisisme ini-- berbicara tentang arti penting sebuah kolektivitas budaya. Setiap masyarakat, singkatnya, melekat pada sebuah budaya. Sementara setiap budaya memiliki kontribusi yang unik dan tak tergantikan bagi kemajuan umat manusia, maka perjumpaan dan kesinambungannya menjadi kebutuhan yang laten dan krusial. Nasionalisme sebagai konsepsi merupakan kerangka kolektif yang diperlukan bagi kebutuhan perjumpaan dan kesinambungan kultural ini.[1]

Selaras dengan Herder, kajian-kajian kontemporer nasionalisme dalam dua dasawarsa terakhir ini semakin memperlihatkan keterkaitan fitrah manusia situasi dan kesinambungan budaya. Lebih maju lagi, keterkaitan kesinambungan budaya dan fitrah manusia situasi secara lebih canggih direvitalisasi dalam suatu konsep turunan yang kuat, yakni right to culture atau ‘hak atas budaya’. Mengutip Yael Tamir, pembicara paling lantang konsep ini, right to culture atau ‘hak atas budaya’ harus dipahami sebagai hak untuk mengakui bahwa budaya dan keanggotaannya adalah sebuah persoalan komunal --bukan individual; selain secara sekaligus juga hak atas suatu ruang publik yang memungkinkan individu-individu berbagi bahasa, mengenang masa lalu, menyapa para pahlawan, serta menggelorakan suatu kehidupan kolektif nasional yang saling mengisi.[2] Sampai di sini, right to culture atau hak atas budaya sebagai konsepsi tidak hanya merevitalisasi kaitan erat nasionalisme dan liberalisme, tetapi secara sekaligus juga menempatkan kembali semangat renaissance kultural yang hidup, dinamis dan interpretatif modernitas dalam kaitan erat konsepsi kesinambungan budaya dan fitrah manusia situasi.

Globalisasi, Atomisasi dan Krisis Manusia Situasi

Bila kesinambungan budaya secara konseptual menemukan akar tunjangnya dalam arti penting konsepsi manusia situasi, globalisasi yang menjadi penjelasan umum perubahan sosial dewasa ini secara ironis justru mengantarkan umat manusia pada kondisi ‘krisis manusia situasi’. Penjelasan terbaik untuk ini ditemukan dalam kecenderungan umum globalisasi untuk berkembang sebagai kekuatan atomisasi.

Bertentangan dengan citra umumnya yang integratif, globalisasi pada dasarnya menyimpan kecenderungan mengudar melalui kekuatan atomisasi. Dalam sebuah penjelasan yang berpengaruh, salah seorang pendukung utama gagasan globalisasi, Anthony Giddens[3], mengakui globalisasi sebagai perubahan sosial yang menantang tradisi dus secara sekaligus mengakselerasi arti penting otonomi aksi. Disebut mengakselerasi oleh sebab secara historis prosesnya sudah dimulai sejak zaman pencerahan atau Enlightenment period: tepatnya ketika modernitas --melalui berbagai introdusi sistem ketatanegaraan modern misalnya-- mulai secara langsung menantang otoritas tradisi di ruang-ruang publik. Akan tetapi, ketidakmampuan modernitas untuk merangsek masuk ke ruang-ruang pribadi, menurut Giddens[4], membuat tradisi tidak sepenuhnya runtuh. Sebaliknya justru bertransformasi dalam aneka persenyawaan baru yang mengadopsi pola-pola kekerabatan keluarga ataupun komunitas sebagai model. Meski tidak disebutkan secara eksplisit, nasionalisme yang mengadopsi kosmopolitanisme terbatas di satu sisi namun masih mempertahankan model kekerabatan komunitas di sisi lain merupakan contoh.

Dalam globalisasi, otonomi aksi semakin merasuki ranah privasi, --atau ranah keintiman menurut bahasa Giddens. Keluarga yang merupakan benteng terakhir tradisi dihadapkan pada krisis kontrol keanggotaan yang serius. Perlahan tapi pasti aneka pranata dan praktek kehidupan sehari-hari diudar dari simpul tradisi. Sementara masyarakat-masyarakat yang masih bertahan dalam keterikatan tradisi secara perlahan kian tertradisionalisasi. Secara umum, dalam globalisasi, dunia tengah bergerak ke arah apa yang disebut Giddens[5] sebagai kemunculan impresif ‘masyarakat kosmopolitanisme global’.

Seperti namanya, masyarakat kosmopolitanisme global ditegakkan di atas supremasi individu atas komunalisme ikatan-ikatan sosial. Seperti kata Nussbaum[6], satu-satunya ketundukan kosmopolitanisme adalah pada komunitas umat manusia yang mendunia. Selebihnya kosmopolitanisme membebaskan individu-individu untuk menikmati otonomi aksi dan kebebasan berekspresi terlepas dari keterkungkungan patriotisme ataupun tradisi. Sebagai konsepsi, pemikiran seperti ini sebenarnya tidak selalu berkaitan dengan globalisasi. Kosmopolitanisme telah berkembang sejak era Stoics, Yunani Kuno, jauh sebelum dikenal istilah globalisasi. Oleh karena itu, kemunculannya kembali sebagai gagasan populer dewasa ini tak lepas dari momentum suatu era yang menurut John Ralston Saul[7] dicirikan oleh “sebentuk internasionalisme tak terhindarkan di mana peradaban direformasi menurut perspektif kepemimpinan ekonomi”. Oleh karena globalisasi hadir bersama supremasi kosmopolitanisme ekonomi, maka seluruh tatanan peradaban dan ragangan perjumpaan kultural pun terdesak dalam keniscayaan yang sama.

Kosmopolitanisme yang muncul sebagai kelanjutan perkembangan global mode ekonomi ini menyimpan kekuatan dahsyat bagi atomisasi, --sebuah proses pembebasan individu dari keterikatan komunitas dan tradisi. Untuk lebih mengklarifikasi persoalan ini, kontribusi Manuel Castells menyediakan jembatan krusial. Merekam pergeseran-pergeseran yang terjadi dalam dunia materiil, dalam teknologi, kemudian mode produksi, Manuel Castells[8] mengetengahkan konsep masyarakat jejaring atau network society dan konsep ekonomi informasi atau informational economy. Dalam globalisasi, menurut Castells, perekonomian semakin terorganisir tidak dalam karakteristik keunggulan tanah atau geografi sebagai faktor produksi yang bersifat tetap melainkan dalam karakteristik keunggulan tenaga kerja yang mobile terkait penguasaan infrastruktur-teknologi. Sebagai akibat dari perubahan ini, suatu bentuk, interaksi, kontrol dan perubahan sosial baru muncul dan mengorganisir diri dalam ragangan kemasyarakatan baru yang disediakan informasionalisme ekonomi. Oleh karena yang terakhir ini lebih bersifat networking, fleksibel, dan koordinatif, maka tipe masyarakat yang kemudian muncul adalah masyarakat jejaring atau network society.

Dalam network society ini, pola-pola keterhubungan sosial lebih banyak diorganisir dalam arti penting networking, fleksibilitas dan koordinasi; meninggalkan model klasik sistem organisasional ketat, tata kelola kaku dan otoritas intruksional. Yang krusial, menyusul arti penting networking, fleksibilitas dan koordinasi itu ialah memudarnya batas-batas kaku keanggotaan, terindividualisasinya pola-pola keterhubungan sosial, serta tereduksinya keterikatan kolot pada kerja, ruang dan waktu. Akibatnya, otonomi lembaga, organisasi dan sistem-sistem komunikasi mencair. Dunia menjadi semakin terlalu luas dan terlalu longgar untuk dikontrol oleh aktor-aktor tradisional. Ketika keterikatan terhadap tempat dan waktu tak lagi kaku, arti penting momen historis yang melekat padanya pun terdekonstruksi.

Pada titik inilah proses atomisasi secara sosio-kultural membawa akibat-akibat yang khas. Mengikuti kategorisasi Adam K. Webb[9], prosesnya mungkin dapat digambarkan sebagai bersendikan dua hal: detachment dan homogenity, kurangnya keterikatan dus transendensi. Jika keterikatan menempatkan individu sebagai produk sosial situasi alias manusia situasi, transendensi membuka ruang bagi pencarian yang terus menerus. Sebaliknya dengan kecenderungannya untuk bergerak ke arah detachment dan homogenity, atomisasi mengudar individu dari keterikatan-keterikatan sosial pada ruang dan waktu sementara pada saat yang sama bergerak homogen ke arah masyarakat kosmopolitanisme global.

Yang krusial, proses ini bukannya tanpa krisis. Konsekuensi-konsekuensi dari meningkatnya atomisasi dalam globalisasi membawa ketegangan-ketegangan dalam relasi individu dan sistem sosial. Sebagaimana tesis Castells[10] bahwa dalam ‘masyarakat jejaring’ konstruksi politik dan aksi-aksi sosial menjadi kian terorganisir dalam identitas-identitas primer, perjuangan-perjuangan untuk mempertahankan subyek, serta upaya-upaya untuk mengu-kuhkan eksistensi personalitas yang mampu melintas ruang dan waktu. Pertarungan pun menghangat dalam perebutan wilayah primer, yakni wilayah yang berkaitan dengan pendefinisian siapa ‘kita’ dan siapa ‘mereka’. Suatu pertempuran identitas yang menurut Castells[11], berlangsung antara ‘the Net’ vs ‘the Self’. Jika ‘the Net’ merepresentasi kekuatan yang muncul sebagai hasil atomisasi, ‘the Self’ mewakili kekuatan yang muncul sebagai reaksi defensif atasnya. Celakanya, globalisasi bukan sebuah kekuatan netral dalam pertempuran ini. Alhasil, ketika globalisasi melalui kekuatan atomisasi membuka ruang lebih leluasa pada pertumbuhan ‘the Net’, pada saat yang sama justru membawa krisis pada keberlangsungan ‘the Self’.

Krisis yang menyangkut ‘the self’ di atas adalah krisis yang melanda ‘manusia situasi’ secara umum. Sebagaimana telah diulas di bagian sebelum, ‘manusia situasi’ adalah individu yang senantiasa terikat pada tradisi, produk dari interaksi individu dalam kombinasi unik ruang dan waktu. Proses atomisasi merelatifkan keterikatan erat ruang dan waktu, melonggarkan individu dari kewajiban sosial, memudarkan daya tarik nilai-nilai kebajikan publik atau virtu, memburamkan romantika sosial terhadap memori-memori kolektif, dan pada akhirnya men-desakralisasi penghormatan terhadap tradisi serta upaya-upaya untuk menghadirkan masa lalu ke masa kini. Di hadapan goncangan perubahan mendasar seperti itu, individu-individu kian terdesak dalam situasi krisis identitas. Terlanjur tercerabut dari akar sosial setempat tetapi tak kunjung mendapatkan alternatif sumber identitas baru yang sepadan di tingkat global. Dua kemungkinan kemudian terjadi: terperangkap dalam situasi defensif pembelaan identitas-tradisi atau terperangkap dalam situasi global anomie. Jika yang pertama ditemui dalam gejala fundamentalisme, yang terakhir dijumpai dalam apa dikenal sebagai vagabondisme.

Apabila fundamentalisme dipahami tidak terbatas persoalan agama tetapi persoalan tradisi secara umum, kemunculannya yang marak beberapa dekade terakhir dapat dipahami secara lebih baik dalam kaitan globalisasi. Lebih dari sekadar reaksi umum terhadap globalisasi, fundamentalisme adalah reaksi defensif pembelaan tradisi dalam globalisasi. Sebagaimana dikemukakan Anthony Giddens[12], fundamentalisme adalah reaksi tradisi yang terkepung. Sebuah tradisi yang mengalami krisis akibat berpendarnya titik-titik referensi. Alih-alih mengupayakan titik temu, fundamentalisme merevitalisasi kesakralan teks-teks dan tradisi dasar melalui pemahaman serba-literal. Ketika globalisasi mendesak setiap tradisi untuk semakin kosmopolit, fundamentalisme justru merituskannya sebagai kebenaran tunggal.

Dalam kaitan ini, meski berbagi pandangan tentang sentralitas tradisi, fundamentalisme berbeda secara mendasar dengan tradisionalisme. Jika tradisionalisme berhenti sebatas purifikasi tradisi, fundamentalisme bergerak lebih jauh lagi, memberi vitalitas baru pada kontekstualitas puritanisme tradisi. Ini dimungkinkan berkat keberhasilannya menge-tengahkan prakarya ulang yang kreatif atas nilai-nilai pokok suatu tradisi. Di sini fundamen-talisme pada taraf tertentu merupakan persoalan kesinambungan budaya. Hanya saja, jika kesinambungan budaya melakukannya melalui perjumpaan terbuka kontekstualitas masa lalu dengan tantangan mutakhir masa kini, fundamentalisme melakukannya melalui inferensi tertutup dan satu arah. Jika dalam kesinambungan budaya korespondensi masa lalu adalah sebuah upaya kontekstualisasi akar, dalam fundamentalisme ia merupakan upaya kontekstualisasi dasar. Jika kontekstualisasi akar berbuah pendefinisian, konteks-tualisasi dasar berbuah dalil-dalil semesta alam. Adalah dalam hubungan klaim terhadap dalil semesta alam ini, fundamentalisme tidak hanya mewarisi misi universal globalisasi, tetapi secara sekaligus mewariskan problem identitas yang rumit atasnya.

Akan tetapi, fundamentalisme bukan satu-satunya problem identitas dalam globalisasi. Selain fundamentalisme dunia kini dijangkiti virus vagabondisme. Jika fundamentalisme mengkonfirmasi situasi defensif pembelaan tradisi, vagabondisme mengkonfirmasi situasi ‘global anomie’. Dalam sebuah analisis yang menarik tentang globalisasi, Zygmunt Bauman[13] menggambarkannya sebagai tragedi dari tourisme ke vagabondisme. Seperti dalam tourisme, globalisasi menjanjikan kenyamanan petualangan tanpa batas, tetapi alih-alih menyediakan itu, ia lebih sering jatuh dalam alter-egonya: vagabondisme. Vagabondisme istilah yang kurang dikenal, tetapi vagabonds –para gembel—dijumpai di mana-mana. Meski sama-sama soal pengelanaan, tourisme dan vagabondisme berbeda. Dalam tourisme, seseorang berkelana karena keinginan sendiri; sementara dalam vagabondisme, seseorang berkelana karena tidak punya pilihan. Yang khas dari seorang vagabond –seorang gembel—ialah tercerabutnya identitas yang didefinisikan dalam kaitan suatu tempat. Seorang tourist bagaimana pun adalah seorang yang mampu kembali ke rumah, tetapi vagabond tidak lagi memiliki tempat kembali. Bertentangan dengan tourist, vagabond tidak memiliki identitas, asal, dan tujuan yang terdefinisi. Seorang vagabond adalah seorang ‘global anomie’.

Sejauh menyangkut identitas, globalisasi merupakan transformasi ‘manusia situasi’ menjadi vagabond, bukan tourist. Globalisasi menghadirkan pengelanaan seringkali bukan sebagai pilihan tetapi keterpaksaan yang muncul sebagai konsekuensi atomisasi. Sejauh menyangkut identitas, globalisasi tidak saja menarik individu keluar dari sarang tradisi tetapi lebih jauh menjadikannya tempat yang kurang bermartabat sebagai ‘rumah untuk kembali’. Celakanya, keluar dari tradisi bukan berarti eksodus ke tanah terjanji. Globalisasi tidak memiliki tanah terjanji atau promised land, karena sekali-kali ia bukan konsep tentang tempat, place atau territory. Dalam globalisasi, konsepsi tentang tempat telah direduksi menjadi sekadar ruang, space, atau tempat singgah yang oleh karena sifatnya tidak cukup kuat menjadi sumber identitas. Sebagai akibatnya, dalam globalisasi, banyak orang kian terdesak dalam situasi kehilangan jatidiri. Seperti vagabond, dalam globalisasi banyak orang kian berada dalam situasi anomie, --sebuah situasi yang paling dihindari oleh setiap ‘manusia situasi’.

Pemuda, Peziarahan dan Kesinambungan Budaya

Setelah menggarisbawahi problematika persoalan kesinambungan budaya dalam globalisasi, bagaimana lantas peran pemuda harus didefinisikan dalam kaitan ini? Untuk sampai pada jawaban memadai atas persoalan ini, telaah perlu dilakukan terhadap arti penting pemuda dalam kaitan integral dengan arti penting peziarahan kultural dan kesinambungan budaya. Tentu saja istilah pemuda di sini tidak hanya merujuk pada gender tertentu, melainkan kaum muda secara umum sebagai sebuah eksponen budaya.

Dalam banyak konsepsi budaya, pemuda dan kemudaan adalah sebuah konsep dan siklus krusial dalam busur kehidupan. Sebuah konsepsi yang memuat tidak saja periode paling kritis pencarian jatidiri tetapi juga fase paling aktif peziarahan budaya. Tentu saja muda di sini tidak terbatas persoalan usia, --sebuah salah paham umum yang masih sering ditemui. Meski banyak disalahartikan sebagai penanda terpenting kemudaan, melekatnya usia pada kemudaan sesungguhnya lebih sering sebagai ‘kategori sisa’. Sebuah kategori yang muncul sebagai konsekuensi –bukan penyebab—pengertian umum kemudaan sebagai periode transisi dari kekanakan menuju kedewasaan. Dalam banyak tradisi, kekanakan merujuk pada tahapan kehidupan yang belum lengkap yang didalamnya menyangkut pula pengertian secara fisik; sementara kedewasaan secara umum merujuk pada satu tahap kesempurnaan hidup. Tidak seperti konsepsi kekanakan, konsepsi kemudaan secara definisi tidak meng-indikasikan kebelumsempurnaan jasmani melainkan mental-spiritual. Jika kedewasaan adalah konsepsi mental-spiritual tentang kesempurnaan hidup, kemudaan adalah konsepsi mental-spiritual tentang bagaimana memperjuangkannya.

Sebagai transisi mental-spiritual, kemudaan adalah sebuah tikungan hidup yang krusial, yang didalamnya yang memuat tidak saja periode paling kritis pencarian jatidiri tetapi juga fase paling aktif peziarahan budaya. Kemudaan, dalam pemahaman seperti ini, adalah sebuah periode Bima dan Dewaruci dalam mitologi klasik pewayangan. Sebuah periode yang ditandai dengan pencarian terhadap hakikat persoalan hidup, pendefinisian situasi yang melingkungi, dan penentuan posisi diri dalam kaitan persoalan dan situasi terdefinisi. Yang menarik, dalam banyak tradisi, upaya pencarian jati diri pemuda dilekatkan dalam suatu penerimaan umum terhadap arti penting peziarahan kultural, --sebuah konsep yang meng-gambarkan proses pencarian yang open-ended, terbuka, dan menggarisbawahi keyakinan pada arti penting dialektika dan perjumpaan lintas budaya. Dalam budaya tradional Jawa, kemudaan secara sekaligus adalah penanda suatu masa –meski secara umum masih terbatas pada kaum laki-laki-- untuk bepergian dari rumah, mengunjungi seorang guru, atau terlibat dalam suatu proses ngangsu kawruh yang lebih terbuka. Sementara dalam tradisi Melayu --juga tradisi-tradisi lain yang berbasis budaya pesisir—masa kemudaan kerap dilekatkan dalam periode yang saling bertukar dengan masa dimulainya kehidupan rantau.

Layaknya sebuah tikungan, lebih jauh, kemudaan menyediakan momentum sekaligus energi yang multi-peluang, kendati pada saat yang sama juga berarti multi-risiko. Tidak meng-herankan jika sejak zaman purbakala kemudaan menjadi wilayah paling diperebutkan dalam pertempuran demagogis ataupun pertempuran ideologis. Seperti penguasaan terhadap daerah jantung dalam doktrin geopolitik Harfold Mackinder, penguasaan terhadap alam pikiran kemudaan suatu masa berarti juga penguasaan terhadap unsur paling dinamis bagi perubahannya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika tiap-tiap gagasan perubahan sosial senantiasa berlomba untuk mendapatkan perhatian kaum muda. Tidak mengheran pula bila kaum muda senantiasa ada dalam setiap fenomena sosial yang merepresentasi zamannya. Dalam kaitan dengan kebutuhan-kebutuhan sosial yang membutuhkan banyak tenaga, tidak ada yang lebih menjanjikan selain melibatkan orang-orang muda dalam perwujudannya.

Kaitan fundamentalisme dan kemudaan dalam globalisasi mengkonfirmasi kecenderungan ini. Sebagai gagasan radikal pembelaan tradisi, fundamentalisme membutuhkan banyak energi. Dan sejauh ini, realitas di lapangan menunjukkan bahwa persoalan fundamentalis-me telah berkembang lebih kompleks dari sekadar persoalan tradisi versus globalisasi. Lebih jauh dari itu, fundamentalisme dalam prakteknya telah menggarisbawahi persoalan umum kemudaan dalam hubungannya dengan identitas dan tradisi. Celakanya, banyak orang terlambat menyadari problematika ini. Ketika penyelidikan FBI menggambarkan pelaku serangan bunuh diri ke menara kembar WTC sebagai sekelompok fundamentalis usia belasan atau duapuluhan tahun --yang seharusnya disibukkan dengan musik hip-hop dan permainan basket, banyak warga Amerika Serikat dan juga warga dunia terkejut-kejut. Keterkejutan yang mengingatkan orang pada sekelompok pemuda tanggung yang menjadi eksekutor pembantaian etnik di Rwanda, memukul mundur pasukan Amerika Serikat di Somalia, hingga menggelorakan pengadilan jalanan terhadap kapitalis-kapitalis sekolah dalam Revolusi Kebudayaan China. Demikianlah, di seluruh dunia, banyak orang terbukti tidak cukup siap mengetahui bahwa bukan orang Amerika, orang Tutsi, atau kaum kapitalis China yang sebenarnya menjadi target sekaligus korban utama pertarungan tradisi versus globalisasi; melainkan orang-orang muda sebagai eksponen budaya pada umumnya.

Keterlambatan memahami bahaya yang mengancam kaum muda ini typical dan sedikit banyak mudah dimengerti dalam kaitan kecenderungan umum yang berlaku endemik dan mendasar yang mendahului. Sejak revolusi bunga tahun 1970’an, generasi baby boomers dunia memang lebih banyak muncul sebagai konsumen komersialisasi budaya pop dunia ketimbang produsen perlawanan-perlawanan terhadap kapitalisme budaya. Perlawanan Teologi Pembebasan Amerika Latin 1980an yang mencoba menghidupkan kembali progresivitas politik kaum muda 1960an tidak juga memberi perubahan selain menambah lebih banyak kaos bergambar Che Guevara dalam pengunjung konser-konser mereka, --yang seringkali juga hasil produksi Warner Bross atau industri-industri kreatif sejenis. Secara umum, radikalisme kaum muda berhenti setelah gelombang pasang akhir 1960’an di Eropa dan awal 1970’an di Amerika Serikat. Dalam latar belakang seperti itu, agak sulit mem-bayangkan bahwa kegalauan umum tengah melanda kaum muda dan membuka kemung-kinan keterlibatan masif mereka dalam gerakan radikal resistensi budaya. Keterlibatan masif kaum muda kosmopolit yang secara kontradiktif tampil dengan telepon genggam di tangan dan kartu kredit di saku sambil meneriakkan seruan anti-kapitalisme dan globalisasi di Seatlle 1999 sesungguhnya sebuah symptom, tetapi dalam prakteknya terbukti tidak cukup kuat menyadarkan dunia tentang realitas kontemporer kegamangan ideologis kaum muda yang akut serta keterperangkapan umum mereka dalam krisis budaya.

Padahal riset menunjukkan bahwa dalam globalisasi, posisi kemudaan secara umum tengah terperangkap dalam “sebuah loop siklus global produksi dan konsumsi di satu sisi serta resistensi parokhial bagi keadilan dan kesetaraan anti-imperial di sisi yang lain”,[14] sebuah situasi yang sejajar dengan keterperangkapan dalam sebuah loop konflik ‘the Net’ di satu sisi dan ‘the Self’ di sisi yang lain, atau sebuah loop konflik ‘akselerasi atomisasi’ di satu sisi dan ‘manusia situasi’ di sisi yang lain. Tentang keterperangkapan ini di bagian sebelum telah diulas secara cukup detil. Yang penting untuk diungkapkan di sini ialah fakta bahwa situasi loop yang melanda kemudaan dewasa ini sesungguhnya bukan yang pertama dalam sejarah politik dan kemudaan dunia. Seratus tahun yang lampau, situasi keterperangkapan serupa di jumpai dalam posisi canggung anak-anak muda Asia –dan juga Afrika--dalam struktur budaya kolonial akhir abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh. Sebagaimana dikemukakan Benedict Anderson dalam Imagined Communities yang monumental, bahwa dalam kehidupan politik dan kultural koloni-koloni Eropa di Asia yang rasialis dan diskriminatif, kemudaan berarti generasi pertama anak-anak muda yang menikmati gaya dan standar pendidikan Eropa, berbicara dalam cara dan gaya yang secara bahasa dan budaya berbeda dengan orang tua mereka, tetapi secara psiko-kultural tertancap secara kuat dalam kemalangan struktur pribumi yang melahirkan mereka serta ketidakmampuan struktur kolonial Eropa dalam menyerap keahliannya.[15]

Yang berbeda, di tengah keterperangkapan politiko-kultural seratus tahun lampau, kaum muda kolonial Asia –dan juga Afrika-- keluar dengan solusi otentik yang secara umum mengkonfirmasi kontribusi penting mereka yang bersejarah dalam memadukan arti penting perziarahan kultural dan kesinambungan budaya. Alih-alih menerima begitu saja struktur kolonial yang melahirkan mereka atau kembali pada struktur feodal yang melahirkan orang tua mereka, kaum muda Asia dan Afrika seratus tahun lampau memilih untuk tidak memilih keduanya, melainkan secara distingtif mengembangkan suatu proyek politiko-kultural impresif yang memuarakan sisi-sisi dinamis perziarahan kultural mereka dalam gagasan-gagasan progresif kesinambungan budaya. Secara umum ini merupakan fenomena khas yang secara brilian dicatatkan Anderson sebagai salah satu elemen penting yang tidak saja membedakannya dari proyek politiko-kultural serupa di Eropa sebelumnya, tetapi juga yang secara historis menandai kemunculan ‘gelombang terakhir’ nasionalisme, di mana Indonesia merupakan salah satu kasus terpentingnya.[16]

Kaitan kontribusi kemudaan dalam memecah kebuntuan historis merupakan sejarah emas dalam historiografi Indonesia. Dalam karya penting yang lain, misalnya, Anderson yang juga ahli Indonesia ini percaya bahwa watak khas dan arah revolusi Indonesia pada permulaan-nya sebagian ditentukan oleh “kesadaran pemuda”. [17] Meski Anderson hanya menuliskan periode sekitar revolusi fisik pasca kemerdekaan, secara umum keyakinannya menjelaskan posisi tipikal kemudaan dalam sejarah Indonesia. Dari Soempah Pemoeda 1928, Aksi Tritura 1966, hingga Reformasi 1988, sejarah Indonesia pada titik-titik paling kritisnya senantiasa menemukan elemen paling dinamisnya dalam peran menentukan kaum muda. Tidak hanya itu, pada titiknya yang paling dasar, Indonesia sebagai bangsa secara tak terbantahkan merupakan proyek politiko-kultural kaum muda.

Adalah orang-orang muda yang berada di balik transformasi menentukan makna Indonesia sebagai terminologi. Sampai setidaknya kuarter pertama abad dua puluh, dunia hanya mengenal Indonesia sebagai sebuah ekpresi geografis. Berkat tangan dingin Hatta bersama kolega-kolega muda yang lain, konsepsi tentang Indonesia ditransformasi menjadi nama tentang sebuah cita-cita politik, sebuah proyek politiko-kultural yang menghimpun seluruh upaya penentuan nasib sendiri pribumi Hindia-Belanda dalam satu tujuan bersama. Hatta belum genap seperempat abad ketika menuliskan “Tentang Nama Indonesia” untuk pertama kalinya, sementara Soekarno hanya beberapa tahun lebih tua ketika mendirikan “Partai Nasional Indonesia”.

Akan tetapi, kemudaan yang melahirkan Indonesia, memiliki pengertian yang lebih luas dari sekadar soal usia. Seperti telah disinggung sebelumnya, lebih jauh kemudaan merupakan kategori sosiologis dari sekelompok ‘peziarah kultural’ yang melancong bebas di antara kekakuan sistem feodal pribumi dan sistem kolonial Hindia Belanda. Orang-orang seperti Soekarno dan Hatta adalah sedikit di antara pemuda yang mengenyam gaya dan cara pendidikan kolonial kendati terlahir sebagai bangsawan pribumi, meski hanya bangsawan tingkat menengah. Posisi unik ini memungkinkannya melakukan penjelajahan kultural ulang-alik di antara kedua struktur kaku tersebut. Tetapi justru dalam posisi bebasnya sebagai “peziarah kultural” tersebut, sebuah situasi krisis muncul sebagai akibat ketidak-mampuan kedua sistem politiko-kultural dalam menyerap secara sempurna sisi-sisi dinamis mereka yang khas. Pada saat yang sama, sistem terpusat pendidikan kolonial dan sistem kelas yang dikembangkan pemerintah Hindia Belanda secara tidak sengaja menyatukan mereka tidak saja dalam satu pusat perziarahan kultural melainkan juga dalam kolektivitas nasib bersama. Seperti digambarkan Anderson bahwa, “Roma dari segala perziarahan pemuda Hindia Belanda waktu itu adalah Batavia: bukan Singapura, Bukan Manila, Bukan Rangoon, bukan pula bahkan ibukota kerajaan Jawa di Jogjakarta dan Surakarta”[18].

Meski lahir dari generasi muda pertama yang terdidik secara kolonial, Indonesia sebagai proyek politiko-kultural bukan kepanjangan dari sistem kolonial Hindia Belanda; meski bukan pula berarti kepanjangan sistem feodal pribumi yang memayungi generasi yang lebih tua. Sebaliknya, secara impresif Indonesia sebagai gagasan politik sejak awal dimaksudkan sebagai anti-tesis sistem kolonial Hindia-Belanda yang rasial dan diskriminatif; serta anti-tesis sistem feodal pribumi yang kolot dan tidak demokratis. Meski begitu, sisi-sisi modern administrasi pemerintahan Hindia-Belanda tetap dipertahankan sementara nilai kultural yang relevan dalam sistem pemerintahan feodal pribumi direvitalisasi. Kasus pengadopsian model kontinental dalam sistem hukum dan revitalisasi nilai-nilai gotong-royong dalam sistem politik merupakan contoh. Akan tetapi, di atas semua itu, keberhasilan menyepakati bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional merupakan bukti yang menggarisbawahi keingin-an kuat kaum muda untuk melahirkan Indonesia yang kosmopolit, civic, dan demokratis paling tidak secara bahasa –bahasa Jawa yang diucapkan separuh lebih penduduk Hindia-Belanda diyakini sebagai tidak demokratis bahkan oleh Soekarno sendiri-- tanpa harus ter-jebak pada pilihan mengadopsi bahasa kolonial yang lebih modern dan lebih berstatus pada masanya, --suatu pilihan yang gagal diwujudkan dalam gerakan kebangsaan sejenis di India.

Sampai di sini, solusi kolektif yang dipilih generasi muda dalam kaitan situasi-situasi khas ketegangan politiko-kultural kolonial yang melahirkannya membawa mengemuka tidak saja keberhasilan kaum muda dalam mengembangkan proyek politiko-kultural impresif yang memuarakan sisi-sisi dinamis perziarahan kultural mereka dalam gagasan-gagasan progresif kesinambungan budaya; tetapi juga kemampuan mengesankan mereka untuk keluar dari jebakan atomisasi dan krisis manusia situasi di zamannya. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, terdapat kesejajaran yang penting -- kendati dalam intensitas berbeda—antara dilema politiko-kultural kemudaan seratus tahun lampau dan perkembangan kontemporer-nya dewasa ini: dua-duanya berada dalam krisis identitas yang sistemik. Bedanya, jika dilema kemudaan dewasa ini muncul sebagai konsekuensi globalisasi, seratus tahun yang lampau ia muncul sebagai konsekuensi imperialisme. Perbedaan ini membuat variasi tetapi tidak secara mendasar memupuskan harapan untuk menarik pelajaran berarti.

Seperti globalisasi, imperialisme Barat membawa serta virus modernitas ke dalam struktur politiko-kultural pra-kolonial yang tradisional. Prosesnya tidak harus berdarah-darah tetapi bisa jadi mengalir lembut melalui perluasan sistem pendidikan yang melibatkan kalangan pribumi yang lebih luas. Akan tetapi, sekali sistem pendidikan modern kolonial diperluas, sekelompok generasi muda pribumi yang tercerabut dari akar tradisionalnya pun muncul. Apabila sistem kolonial cukup luwes untuk menyerap sisi paling progresif dari generasi baru ini, ketegangan mungkin bisa ditunda. Tetapi bila tidak, suatu situasi atomisasi modernitas yang berujung krisis identitas muncul dan menuntut penyaluran radikal di sana-sini. Pada titik ini, nasionalisme kewargaan sebenarnya bukan satu-satunya pilihan. Pada saat yang sama, sejauh menyangkut pencarian identitas dan ketegangan kultural, senantiasa ada godaan dari alternatif-alternatif parokhial ataupun kosmopolitan. Dalam kasus Indonesia seratus tahun lalu, Islamisme dan Komunisme hadir sebagai alternatif yang kuat. Tetapi, sekali lagi pilihan pada keIndonesiaan yang civic dan kewargaan terbukti menyediakan keseimbangan luwes kebutuhan-kebutuhan perziarahan kultural di satu sisi dan kebutuhan-kebutuhan kesinambungan budaya di sisi lain. Dan sepanjang soal perziarahan kultural, tidak ada yang melebihi arti strategis kaum muda sejauh ini.

Dalam globalisasi, proses pencerabutan identitas berlangsung lebih intensif dan bervariasi, tetapi secara umum konsekuensi-konsekuensi umumnya tidak benar-benar baru. Telaah persoalan kesinambungan budaya dalam kaitan tantangan umum globalisasi membawa mengemuka isu atomisasi dan krisis manusia situasi serupa. Oleh karena itu, seperti seratus tahun yang lalu, sebuah reposisi dan reaktualisasi peran-peran peziarah kultural kaum muda dalam muara-muara penguatan identitas kolektif yang secara elegan mewadai kebutuhan bagi perjumpaan kultural di satu sisi dan kesinambungan budaya di sisi yang lain secara kontekstual menemukan arti pentingnya kembali. Barangkali secara praktek bentuknya tidak harus berupa gerakan nasionalisme seperti seratus tahun yang lampau. Akan tetapi, di tengah bahaya fundamentalisme dan vagabondisme, agak sulit menemukan kolektivitas kultural yang se-elegan dan se-progresif nasionalisme. Adalah benar bahwa nasionalisme dalam bentuk yang chauvinis pernah menjadi trauma bagi perjumpaan terbuka budaya; akan tetapi, dalam kaitan kesinambungan ini, nasionalisme dipahami dalam pengertian berbeda: bukan sebagai ‘kolektivitas etnik’, melainkan ‘hak atas budaya’. Dalam kaitan itu, reposisi untuk secara sekaligus mentransformasi peran-peran peziarah kaum muda dalam rangkaian simultan dan kolektif upaya-upaya memperkuat dan memudakan –dalam pengertian progresif— visi kolektivitas budaya menemukan kontekstualitasnya kembali. Yang menarik, terkait peran-peran renaissance budaya ini, kaum muda Indonesia bukannya tanpa histori. Sebaliknya, secara impresif bahkan merupakan kasus rujukan penting. Oleh karenanya, transformasi peran peziarah kultural kaum muda dalam peran-peran progresif renaissance budaya kolektif bangsa selain kontekstual seharusnya juga menyejarah.

Kesimpulan

Bila kesinambungan budaya secara konseptual menemukan akar tunjangnya dalam arti penting konsepsi manusia situasi, globalisasi justru mengantarkan umat manusia pada kondisi ‘krisis manusia situasi’. Penjelasan terbaik untuk ini ditemukan dalam kecenderung-an umum globalisasi untuk berkembang menjadi kekuatan atomisasi. Sementara itu, alih-alih menjadi jawaban, fundamentalisme dan vagabondisme yang marak dewasa ini justru menjadi bagian ekstrim dari krisis manusia situasi. Dalam kaitan itu, rujukan kepada tradisi menemukan arti penting tetapi tidak dalam sifatnya yang statis, linear dan doktriner; tetapi dalam ciri dinamis, multiinterpretatif, dan hidup. Melalui konsepsi kesinambungan budaya, arti penting hubungan dinamis, multiinterpretatif, dan hidup ini digarisbawahi. Oleh karena persoalan tradisi adalah persoalan dialektika kultural lintas generasi, tidak ada yang lebih penting dari membahas posisi unik dan dinamis kemudaan dalam kaitan ini. Muda di sini bukan soal usia, melainkan kategori sosiologis yang melekat pada suatu generasi antara dengan ‘perziarahan kultural menuju kedewasaan’ sebagai ciri utama. Dalam kaitan peran-peran luwes kemudaan dalam kaitan perziarahan kultural itu, globalisasi tidak hanya menempatkan pemuda dalam posisi krisis identitas serupa, tetapi lebih jauh membuka peluang bagi peran-peran pentingnya kembali. Menariknya telaah terhadap sejarah kemuda-an seratus tahun yang lalu mencatat kegemilangan pemuda tidak saja dalam mengembang-kan proyek politiko-kultural impresif yang memuarakan sisi-sisi dinamis perziarahan kultural mereka dalam gagasan-gagasan progresif kesinambungan budaya; tetapi juga kemampuan mengesankan mereka untuk keluar dari jebakan atomisasi dan krisis manusia situasi di zamannya. Lebih menarik lagi, dalam kaitan sejarah kegemilangan ini, kaum muda Indonesia bukan hanya penonton, melainkan kasus rujukan yang penting. Dari sini, transformasi peran peziarah kultural kaum muda dalam peran-peran progresif renaissance budaya kolektif bangsa selain kontekstual seharusnya juga menyejarah.

Catatan Kaki


[1] Isaiah Berlin, “Herder and the Enlightenment”, dalam Three Critics of the Enlightenment: Vico Hamman, Herder, London: Pimlico, 2000, pp. 168-242.

[2] Yael Tamir, Liberal Nationalism, New Jersey: Princeton University Press, 1993, p. 8.

[3] Anthony Giddens, “Tradition”, dalam Runaway World: How Globalisation is Reshaping Our Lives, London: Profile Books, 2002, pp. 36-50.

[4] Giddens, p. 42

[5] Ibid., p. 43

[6] Martha C. Nussbaum, “Patriotism dan Cosmopolitanism”, dalam For Love of Country?, Boston: Beacon Press, 2002, pp. 2-17.

[7] John R. Saul, the Collapse of Globalism and the Reinvention of the World, London: Atlantic Books, 2005, p. 19

[8] Manuel Castells, the Rise of the Network Society, Oxford: Blackwell Publishers Ltd, 1996, Ch. 2.

[9] Adam K. Webb, Beyond the Global Culture War, New York: Routledge, 2006, pp. 19-20

[10] Manuel Castells, the Power of Identity, Oxford: Blackwell Publisher, 1997, p. 7

[11] Castells, op. cit., the prologue.

[12] Giddens, ibid., 48-49

[13] Zygmunt Bauman, Globalization: the Human Consequences, New York: Columbia University Press, 1998, pp. 77-102

[14] Lihat, Sunaina Maira, “Imperial Feelings: Youth Culture, Citizenship, and Globalization”, dalam Marcelo M. Suaerez-Orozco dan D. B. Qin-Hilliard (ed.), Globalization: Culture and Education in the New Millennium, Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 2004, pp. 203-234.

[15] Benedict Anderson, Imagined Communities, London: Verso, 1991, p. 119.

[16] Anderson, ibid., pp. 113-140

[17] Benedict Anderson, Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946, terjemahan Jiman Rumbo, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988, p. 15.

[18] Anderson, op. cit., p. 121



Daftar Pustaka

Anderson, Benedict. 1991, Imagined Communities, London: Verso.

-----------------------. 1988. Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946, terjemahan Jiman Rumbo, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Bauman, Zygmunt. 1998. Globalization: the Human Consequences, New York: Columbia University Press.

Berlin, Isaiah. 2000. “Herder and the Enlightenment”, dalam Three Critics of the Enlightenment: Vico Hamman, Herder, London: Pimlico.

Castells, Manuel. 1996. the Rise of the Network Society, Oxford: Blackwell Publishers Ltd.

--------------------. Manuel. 1997. the Power of Identity, Oxford: Blackwell Publisher.

Giddens, Anthony. 2002. “Tradition”, dalam Runaway World: How Globalisation is Reshaping Our Lives, London: Profile Books.

Maira, Sunaina. 2004 “Imperial Feelings: Youth Culture, Citizenship, and Globalization”, dalam Marcelo M. Suaerez-Orozco dan D. B. Qin-Hilliard (ed.), Globalization: Culture and Education in the New Millennium, Berkeley and Los Angeles: University of California Press, pp. 203-234.

Nussbaum, Martha C. 2002. “Patriotism dan Cosmopolitanism”, dalam For Love of Country?, Boston: Beacon Press.

Saul, John Ralston. 2005. the Collapse of Globalism and the Reinvention of the World, London: Atlantic Books.

Tamir, Yael. 1993. Liberal Nationalism, New Jersey: Princeton University Press.

Webb, Adam K. 2006. Beyond the Global Culture War, New York: Routledge.

--0--

Joko Susanto. Staf Pengajar Departemen Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Airlangga. Sarjana Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Airlangga, tahun 2000. Master Studi Politik Global, London School of Economics (LSE), tahun 2007. Pengajar Mata Kuliah ‘Globalisasi dan Imperium’ serta ‘Kosmopolitanisme, Nasionalisme dan Fundamentalisme’ pada Departemen Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Airlangga.


For quotation, this paper appeared firstly at:

Dinas Kepemudaan dan Keolahragaan Provinsi Jawa Timur, Pemuda dan Nasionalisme, Surabaya, 2008, pp. 55-77